TEMPO.CO, Jakarta - "Banyak keturunan Indonesia yang kini ikut berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan," kata Nelson Mandela, 72 tahun, tamu negara pemerintah Indonesia, dalam wawancara pada Oktober 1990, saat ia berkunjung ke Jakarta dan Bandung.
Demikian yang disampaikan Wakil Ketua Kongres Nasional Afrika (KNA), atau African National Congress, partai yang memperjuangkan dihapusnya undang-undang apartheid di Afrika Selatan. Di hadapan 400 hadirin di Hotel Borobudur, Jakarta, Sabtu siang pekan lalu, dalam acara Forum Internasional, bapak tiga anak ini bercerita bagaimana dulu seorang Belanda mendarat di Tanjung Harapan, membawa ratusan budak, di antaranya orang Indonesia.
Pada malam sebelumnya, tokoh yang mendekam 27 tahun di penjara Afrika Selatan itu memperoleh Bintang Republik Indonesia dari Presiden Soeharto. Dari pemerintah RI pula Mandela, yang disebut oleh Presiden Soeharto sebagai "pendekar keadilan dan pembela kebenaran", menerima bantuan US$ 10 juta. Itulah bantuan dana perjuangan buat KNA.
Mungkin begitu pentingnya dana itu, hingga Mandela berharap sudah bisa membawanya dalam perjalanannya ke Australia, Senin pekan ini. Harapan itu memang dipenuhi oleh pemerintah RI, meski harus mengadakan uang kontan sebanyak itu di Minggu malam kemarin, ketika Bank Indonesia tutup. "Mereka memang perlu dana. Selain untuk berjuang, juga persiapan ke arah pendidikan dan sebagainya," kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono.
Berikut wawancara khusus Leila S. Chudori dari TEMPO dengan Nelson Mandela, di ruang VIP Wisma Negara, didampingi pengacaranya, Barbara Masekela ("Pengacara ulung saya yang mengurus pembebasan kami keluar penjara," tutur Mandela). Minggu malam itu Mandela mengenakan setelan jas abu-abu dan kemeja garis-garis, tampak capek, karena padatnya acara di Indonesia, antara lain kunjungan ke Museum Asia-Afrika di Bandung, yang begitu mengesan padanya.
Selanjutnya >> Anda pendiri sayap militer dari KNA. Apakah kini Anda masih mengharapkan perjuangan bersenjata atau tidak?